Benci Jadi Cinta

 

Di sebuah lapang berumput, sejumlah mahasiswa menarik busur panah mereka. Mata kiri mereka menutup, sementara mata kanan mereka fokus ke satu titik kuning nun jauh di sana. Busur yang mereka tarik itu, bebannya lebih dari 20 kilogram. Kala tiba waktunya untuk melepas anak panah, tangan kiri mereka harus ajeg. Satu pergerakan kecil, hilanglah anak panah di semak-semak.

Kelihatannya mudah, memang. Namun bagi pemula, satu-dua tarikan saja sudah mengakibatkan sakit dan pegal tak tertahankan. Belum lagi lecutan dari busur yang kerap menampar lengan kiri. Ah, menyakitkan.

Di tempat lain, mahasiswa dengan seragam yang serupa bergantian memukul bola hijau muda menggunakan raket yang beratnya tak kalah dengan barbel seperempat kilogram. Peluh menghiasi wajah dan pakaian mereka, tetapi mata mereka tetap awas, kuda-kuda tetap kokoh, perpindahan kaki tetap lincah, dan ayunan tangan tetap kuat.

Itu baru dua mata kuliah praktek di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Mata kuliah praktek lainnya seperti renang, sepakbola, dan atletik, tidak kalah melelahkan. Wajar saja bila banyak yang beranggapan bahwa FPOK adalah fakultas khusus para atlet. Atau setidaknya, para pecinta olahraga. Memang yang namanya sudah cinta, apa pun rela dilakukan. Semelelahkan apapun, perkuliahan tetap terasa santai dan menyenangkan.

Namun, bagaimana jika tidak?

Lihatlah gadis cantik itu. Indri namanya. Dandanannya dari ujung kepala sampai ujung kaki, aduhai! Betul-betul menunjukkan sisi kewanitaannya. Gadis yang bercita-cita untuk menjadi pramugari itu, tampil berbeda dengan mengenakan rok dan sepatu pantofel. Make up tak pernah ketinggalan. Lipstik pun seolah menjadi barang bawaan wajib. Bahkan sebelum mata kuliah praktek, touch up make up menjadi sesuatu yang terasa biasa untuk ia lakukan.

Wajar saja, banyak mata tertuju padanya. Mata-mata itu tidak melihat kecantikan dan keanggunan Indri. Satu-satunya yang mereka lihat adalah bahan cemoohan baru. Seorang mahasiswa FPOK dengan motorik buruk, berpenampilan sangat feminim. Bahkan, jurusan yang dimasuki Indri adalah jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga (PKO), gudangnya calon pelatih handal, sekaligus jurusan paling berat di FPOK.

“Kok Indri bisa masuk FPOK, ya? Padahal kan yang ini mah khusus atlet,”

“Ih kok larinya kayak bebek,”

Bisikan-bisikan bernada serupa kerap bergaung. Indri yang merasa motoriknya memang jelek, tidak bisa menjawab apapun. Tak hanya motoriknya yang buruk. Berkaca pada zaman SMA-nya, Indri sering memilih untuk kabur pada mata pelajaran olahraga. Hal itu cukup untuk menunjukkan bahwa minat Indri terhadap olahraga: NOL besar.

Pramugari bukanlah sekadar angan bagi Indri. Sebenarnya saat zaman tes kala itu, Indri diterima di keduanya. FPOK dan pendidikan pramugari. Karena UPI merupakan perguruan tinggi negeri, Indri terpaksa memilih FPOK. Akibatnya, Indri mengalami rasa minder yang luar biasa. Pada awal perkuliahan, Indri praktek seadanya, sebisanya. Pil pahit pertama ia telan ketika gagal lulus mata kuliah Renang I.

Tahun berikutnya, mahasiswa bernama Vicky menelan pil pahit yang sama dengan Indri. Mahasiswa satu itu, tampil lebih normal dan mampu berbaur dengan mahasiwswa FPOK lainnya. Namun, hatinya berbeda dari sebagian besar mahasiswa. Mentalnya jatuh tepat ketika hari pertama ia menginjakkan kaki di kampus FPOK UPI, kampus yang tak pernah ia inginkan. Motoriknya buruk, kemampuan fisiknya pun tak bisa dibliang bagus. Alhasil, ia kerap berada dalam posisi bontot saat perkuliahan atletik. “Makanya, dulu, aku kalau softball atau atletik disimpennya di depan kalau pemanasan.” ujarnya sambil mengenang masa-masa awal perkuliahan.

Itu baru penderitaan yang ia rasakan di lapangan. Di kolam, beda lagi ceritanya. Mentalnya yang telah jatuh, terjun bebas manakala ia tenggelam berkali-kali dalam mata kuliah renang. Segala latihan renang yang telah ia tekuni sebelumnya tak berefek sama sekali. Ketakutannya akan olahraga renang pun semakin menjadi-jadi.

Vicky sebenarnya memiliki minat yang rendah terhadap olahraga, dan tidak memiliki latar belakang olahraga apapun. Vicky terpaksa masuk PKO FPOK UPI karena takdir berkata ia gagal SNMPTN menuju jurusan Psikologi UPI. Ibunda Vicky yang ingin anaknya masuk ke perguruan tinggi negeri, memintanya untuk mencoba SBMPTN ke FPOK. “Udah, cobain aja ke FPOK. Sok geura, masuk.” Ujar ibunda Vicky dengan yakin.

Memang benar, doa orangtua  itu manjur. Walau Vicky merasa telah mengisi SBMPTN dengan asal-asalan, ia tetap lolos ke PKO FPOK UPI. “SBMPTN ke FPOK kan Soshum, ya. Aku dari IPA, nggak tahu apa-apa. Yaudah we aku ngisi sebisanya. (Jawaban) yang nggak aku tau, nggak diisi,” cerita Vicky menggambarkan kepasrahannya kala itu.

Dua tahun setelahnya, giliran Fitria yang merasakan tenggelam di kolam sedalam dua meter. Kala itu, Fitria yang biasa berenang di bagian pinggir dengan perlahan dan diwarnai teriakan dosen, mencoba menjauh dari pinggir kolam. Apa daya, ternyata ototnya belum sanggup. Tak mampu mendapatkan pegangan apapun, Fitria megap-megap mencari oksigen di dalam kepungan air. Dosen yang melihatnya tenggelam, hanya diam di tempat dan menyuruhnya untuk tenang.

Jatuh-Bangun

Indri, Vicky, dan Fitria adalah anomali yang ada di FPOK UPI. Menyempil di antara ratusan olahragawan dan penyuka olahraga. Oktoviana Nur Ajid, asisten dosen silat FPOK UPI mengklasifikasikan mahasiswa-mahasiswanya yang bermasalah menjadi tiga tipe: mahasiswa yang motoriknya bagus tetapi motivasinya rendah, mahasiswa yang motoriknya buruk tetapi motivasinya tinggi, dan mahasiswa yang motoriknya buruk dan motivasinya rendah.

Sebagai asisten dosen yang cukup dekat dengan mahasiswa, Okto sering menasihati mahasiswa dan mendengar keluh kesah mereka. Menurutnya, rata-rata mahasiswa yang salah masuk jurusan adalah mereka yang menganggap bahwa olahraga adalah jurusan yang ringan. Olahraganya pun hanya main-main. Pemikiran tersebut salah besar, mengingat adanya mata kuliah praktek yang berat untuk non-atlet seperti senam, renang, dan atletik. Perkuliahan yang berat kemudian membuat mental dan motivasi mahasiswa turun.

Untuk mahasiswa-mahasiswa seperti itu, Okto hanya bisa menasihati mereka untuk sabar dan tetap bersemangat dalam menjalani perkuliahan. Ia yakin, mahasiswa adalah orang terpelajar yang telah memiliki pemikiran dan pertimbangan masing-masing. Motivasi tidak bisa hanya diberikan orang luar, tetapi juga harus dimunculkan dari dalam diri sendiri. Sementara itu Sucipto, dosen pencak silat dan sepak bola mengatakan bahwa jika mahasiswa bermasalah tidak mau berubah juga, ia akan menyarankan untuk pindah jurusan.

Bagi Indri, Vicky, dan Fitria, ide untuk pindah jurusan adalah ide yang menggiurkan. Setidaknya, pada awalnya mereka berpikir seperti itu. Indri bahkan pernah sampai menangis saking tidak kuatnya berada di FPOK.

Memang, UPI memudahkan mahasiswanya untuk pindah jurusan di dalam UPI setelah satu tahun mengikuti perkuliahan. Jika jurusan yang dituju grade-nya nya lebih tinggi dari jurusan asal, mahasiswa harus mengikuti beberapa tes. Jika jurusan yang dituju grade nya lebih rendah dari jurusan asal, mahasiswa bisa langsung pindah jurusan. Tentu pihak universitas tidak melupakan pengecekan track record perkuliahan mahasiswa terkait. Artinya, mereka harus minimal kuliah setahun dalam jurusan yang telah mereka masuki. Akhirnya mau tidak mau, mereka harus berjuang untuk melewati hari-hari mereka di perkuliahan.

Walaupun memiliki berbagai keterbatasan, ketiga mahasiswa tersebut masih memiliki semangat yang membara. Indri, misalnya. Demi menampar orang-orang yang sering mencemoohnya, ia kerap berlatih usai perkuliahan. Indri mulai menjalani hidupnya di dunia yang baru. “Indri lebih ingin membuktikan, sih, kalau Indri bisa bertahan di dunia olahraga, yang dulu banyak yang ngomongin.” Ujar Indri berapi-api. Begitu pun dengan Fitria dan Vicky. Berlatih akuatik dan atletik adalah agenda pertama mereka setelah perkuliahan selesai.

Seiring bertambahnya motivasi, keinginan ketiga mahasiswa tersebut untuk pindah jurusan, perlahan memudar. Bahkan secara berangsur-angsur, kemampuan motorik ketiga mahasiswa tersebut kian meningkat. Pak Teten Hidayat, salah satu dosen renang dan panahan FPOK UPI, mengatakan bahwa mahasiswa FPOK UPI sebenarnya memiliki kemampuan dasar untuk berolahraga. “Kalau dia pengulangannya bagus dan memanfaatkan waktu luang di luar perkuliahan, rata-rata biasanya bagus.” paparnya.

 

Melebarkan Sayap

Tak hanya meningkatkan kemampuan untuk di perkuliahan, Indri yang kini tengah menjalani tingkat akhir telah melebarkan sayap ke dunia pelatih, atlet, dan wasit. Kini, Indri menekuni karirnya sebagai pelatih renang serta wasit futsal serta dayung. Gelar atlet pun kini disandangnya, setelah ia membela Jawa Barat untuk cabang olahraga rugbi pada PON XIX 2016 lalu.

“Alhamdulillah menikmati di jalan ini, dan alhamdulillah bisa membuktikan dan mencari uang di jalan ini,” kata Indri sambil tertawa kecil.

Sementara Vicky yang satu tingkat di bawah Indri, telah memantapkan hati untuk mengambil spesialisasi akuatik. Ia yang pernah menjadi artis di kolam renang karena kepayahannya, membuat dosen-dosen yang dulu mengajarnya merasa bingung. “Naha si Piki masuk renang?” mereka bertanya-tanya.

Ternyata, karir kepelatihannya dimulai sejak ketidaklulusannya di mata kuliah renang yang membuatnya berlatih renang lebih giat dari siapapun. Ia menerima tawaran untuk melatih di sebuah ekskul di Kampung Belajar. Pengalaman melatih itulah yang membuat Vicky yakin untuk mendalami cabang olahraga renang.

Ieu yeuh contoh nu alus (ini nih, contoh yang bagus), dari asalnya gak bisa, sekarang malah ngambil (renang)” pujian salah satu dosen itu ditanggapi dengan cengiran lebar oleh Vicky.


 

Lampiran Foto

IMG_9235Text Box: Teten Hidayat mengajarkan teknik memanah pada mahasiswa PJKR FPOK UPI pada Rabu (29/3). Menurut Teten, teknik yang bagus dapat diperoleh dengan memanfaatkan waktu luang di luar perkuliahan untuk latihan.
(Foto : Muttaqoh)
Text Box: Oktoviana Nur Ajid memberikan aba-aba pada mahasiswa PGSD FPOK UPI 2015 untuk mengangkat tangan dan mengeluargan suara bergemuruh pada Kamis (30/3) di Gedung Tennis Indoor UPI. Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan semangat mahasiswa di awal perkuliahan.
(Foto : Muttaqoh)

Text Box: Oktoviana Nur Ajid memperbaiki gerakan pencak silat mahasiswa PGSD FPOK UPI 2015 pada Kamis (30/3) di gedung Tennis Indoor UPI. Okto mengatakan bahwa perbaikan gerakan harus diawali dengan kemauan dari diri sendiri.
(Foto : Muttaqoh)

 Text Box: Indri Ayu Ristia (ke-5 dari kiri) bersama tim Rugbi Putri Jawa Barat usai pertandingan cabang olahraga eksibisi PON XIX 2016 di Lapangan Sepak Bola Pusdikjas Cimahi, Sabtu (10/9/2016). Tim Rugbi Putri Jawa Barat meraih medali perunggu setelah berhasil menaklukkan Yogyakarta dengan skor 17-5.
(Foto : Dokumentasi Tim Rugbi Jawa Barat)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuda-kuda dalam Taekwondo

kenapa namanya ganesha operation ?

Lepas Hijab Demi Taat Aturan